[30] Karena Tulang Rusuk Tak Akan Pernah Tertukar…


(gambar dari berbagai sumber)

Di ruangan berukuran empat kali empat meter. Dengan beralaskan tikar, kami sekeluarga duduk berembug membahas hal yang ku anggap serius dalam hidupku. Bahkan jam dinding dengan background kucing seolah ikut berfikir akan nasibku. Sekitar pukul 20.00, saat2 yang indah bagi kunang2 untuk menarikan melodi cinta bersama kawannya. Tapi tidak bagiku, alih-alih bisa menari layaknya kunang-kunang, bahkan untuk sekedar menegakkan kepala melihat Abi pun aku tak berani. Aku hanya menunduk. Aku bingung.

Kami duduk berjajar melingkar, tapi sejujurnya menurutku kurang tepat disebut lingkaran, diameternya tak jelas. Jari-jarinya aneh, karena Bang Usman yang duduknya terlalu kebelakang. Aku tahu maksud Bang Usman, dia ingin bersandar di tembok. Ku tatap mata Bang Usman sudah mulai merah, aku paham tabiat abangku yang satu ini. “Tuti”, tukang tidur. Ya sudahlaah. Misalkan saja bang Usman maju sedikitt saja, pastilah akan berbentuk layaknya lingkaran.

Di sebelah kananku ada Umi, sebelah kiriku Mbak Siti. Abi duduk bersila tepat disebelah kanan Umi. Bang Usman di sebelah kanan Abi, sama artinya disebelah kiri Mbak Siti. Kami berlima seolah akan membicarakan hal yang penting, dan memang penting bagiku. Dan pertanyaan2 yang kurang kusukai mulai meluncur dari Abi….

Aish, kau sudah siap Nak?”

“InsyaAllah Bi,” ku menjawab sekenanya. Jujur, hatiku tak jelas. Aku sulit mendiskripsikan perasaanku.

Kalau saja, Abi bertanya. “Ais kau siap atau belum?”, pertanyaan itu akan lebih mudah kujawab, aku tak akan menjawab “siap” / “belum”, tapi akan ku jawab, “atau”. Huuuuuh, konyol.

Otakku mulai memikirkan hal2 aneh, sekedar membuat agak diri tak tegang dengan pertanyaan2 Abi berikutnya. Aku malah berpikir, coba saja Bang Usman geser sedikit ke depan, pasti layak jadi lingkaran. Kira2 berapa luas lingkaran yang kami bentuk dari posisi duduk 5 orang ini ya. Phi kali jari-jari kali jari-jari ( phi x r x r). Menghibur hati_____Aku bingung, karena aku tahu syuro’ malam ini bertema, “about Faiq”.

Akan sedikit ku kupas cerita tentang Faiq. Dua hari yang lalu Faiq bertamu ke rumah. Faiq sosok laki-laki tampan, berjiwa pemimpin, bersahaja, pandai, juga supel. Karena supelnya, ibuk2 PKK pun sering membicarakan tentang Faiq, “Faiq yang sopan, Faiq yang baik, Faiq yang…Faiq yang….”. Faiq memang hebat. Kebetulan rumahnya tak jauh dari rumahku, hanya terpaut 2 gang, tepat di samping Mushala Al-Mustaqim. Membuat aku tahu banyak hal tentang Faiq.

Aku mengenalnya karena dulu kita satu sekolahan. Kami sekolah di SD dan SMP yang sama. Ketika SMA, dia pindah ke Kalimantan karena orangtuanya tugas dinas di Pontianak. Setelah lulus SMA, dia kembali ke sini ( Bekasi ), melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia Fakultas Ekonomi. Sedangkan aku kuliah di universitas yang sama, fakultas sastra.

Kini, kami telah menginjak akhir tahun keempat. Artinya secara normal kami duduk di semester 8, dan berharap ini adalah semester terakhir. Dan beberapa bulan lagi kami akan mengenakan toga. Amin.

Saat Faiq bertamu, dia bilang hendak bertemu dengan Abi. Pikirku bertamu seperti biasanya, terkait urusan Abi di kecamatan perihal akuntansi dan butuh ilmu Faiq. Abi bekerja di kecamatan, lebih banyak berkecimpung perihal akuntansi, disitulah Abi butuh Faiq. Tapi ternyata bertamunya Faiq 2 hari yang lalu bukan tentang ekonomi seperti fakultasnya. Tetapi perihal cinta seperti isi hatinya. Bisa ditebak, Faiq meminta izin pada Abi hendak meminangku.

Yaaa, barangkali ceritaku sampai sini belum terkesan rumit. Perkara Faiq melamar__Abi minta jawabanku__tinggal jawab Ya/Tidak. Tapi bagiku perkara ini tak semudah mengerjakan ujian multiple choise. Rumit. Lebih rumit ketimbang keluar dari labirin di KRB ( baca : Kebun Raya Bogor).

Sejujurnya, aku suka dengan Faiq. Siapa juga yang akan berpikir dua kali untuk menolak pemuda shaleh seperti Faiq. Andai saja, Faiq menjadi imamku ^^. Rumah kami pasti akan terhias oleh tasbih cinta, beronce shalat malam, rimbun dengan sunnah. Subhanallah, pemuda itu idaman karena akhlaknya. Tapi……………… Seolah mimpi membangun keluarga seolah buyar ketika ku lihat cincin melingkar di jari manisku, di tangan kiri. Cincin yang mengingatkanku akan tembok besar yang serasa sulit sekali untuk ku runtuhkan. Tembok besar yang menghalangiku untuk menjawab “Ya”, pada pertanyaan Abi berikutnya. Tembok yang menyuruhku berkata “Tidak”, saat Abi menanyakan kesediaanku atas lamaran Faiq. Dan sayangnya aku tahu, Abi pun tak akan memaksaku menjawab “Iya, kau harus mau. Tidak ada alasan untuk menolak Faiq”, karena Abi selalu memberikan hak sepenuhnya untukku memilih. Karena urusan jodoh itu urusan untuk jangka panjang. Ya untuk iya, dan tidak untuk tidak.

Cincin warna seng. Dari tembaga pikirku, berlukis bunga. Cincin persahabatanku dengan Fitri. Fitri, yang sekarang terbaring di rumah sakit karena kanker darah. Sudah 5 hari, Fitri terbaring di RS dekat kecamatan. Fitri adalah sahabatku sejak TK, dan aku tahu Fitri sangat mencintai Faiq dan rasa itu tentu tak ia ucapkan dengan lisan atau ungkapkan dengan sikap. Yaaaa, biasa saja kalau bertemu. Dan jelas Faiq tak tahu tentang rasa Fitri. Setiap moment curhat kami berdua, Fitri sering bercerita tentang harapannya bersanding dengan Faiq. Aku dan Fitri sangat dekat, hal2 perihal hati bahkan bukan rahasia lagi diantara kami. Tapi, Fitri tak tahu kalau aku pun sebenarnya juga suka dengan Faiq. Kala itu moment curhat, Fitri yang duluan kena giliran untuk cerita terlebih dulu, dan barulah aku. Dan tak mungkin aku akan melukai perasaan saudariku, tak mungkin ku menyebut merk yang sama kalau akhirnya hanya akan menyakiti orang lain. Waktu itu, tepatnya sekitar 1 bulan yang lalu kita bercengkerama perihal hati di moment curhat, ku jawab sekenanya, “bahkan belum ada pemuda yang membuatku jatuh hati, Fit”. Diawali dengan doa pembuka, introduce dan lain2, tibalah pertanyaan Abi yang kurang kusukai saat ini.

“Aish, bagaimana? Kau mau menerima lamaran nak Faiq atau tidak?”

Jreng jreeeng…

Sungguh, akku tak tahu apa yang harus ku lafalkan. Situasi ini sulit. Aku tak tahu apa yang harus ku jawab. Bahkan lebih mudah melafalkan hafalan2 surat yang bagiku susah, daripada melafalkan ”Ya/Tidak” untuk menjawab pertanyaan Abi kali ini. Kupikir, jam kucing telah bergerak lewat 1 menit. Aku berpikir terlalu lama, untuk menjawab pertanyaan Abi yang hanya butuh jawaban “Ya/ Tidak”

“Aish, jawab Nak. Katakan sesuai hatimu, mungkin ini sulit bagi Aish. Tetapi Aish harus tetap menjawab,” Umi bertutur dengan teduh. Walaupun, pikirku Umi tak tahu perkara hatiku.

Tapi aku bingung, Mbak Siti dan Bang Usman seolah serius ingin mendengar jawabanku. Keempat pasang bola mata di ruangan ini tertuju padaku. Jam kucing ikut2an menunggu jawabanku, bahkan cat tembok berwarna hijau teduh pun ikut2an menyidangku. Ya Allah, tolong hamba. Dan akupun menjawab..

“Tidak”. Tiba2 kata itu keluar dari mulutku. Allah membantuku memilih.

Ruangan menjadi hening untuk hitungan beberapa menit. Abi, Umi, Mbak Siti, dan Bang Usman hanya menatapku^^.

Aku yakin, inilah jalan yang terbaik. Karena yang kupikir baik bagiku, belum tentu baik menurut Allah. Karena Allah akan memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya. Karena Allah tak sekedar memberi apa yang kita mau, tapi apa yang kita butuh. Dan tak mungkin, aku bersenang2 atas pinangan, sementara sahabatku Fitri terbaring di rumah sakit. Fisik sakit, aku saudarinya tak akan  membuat hatinya juga sakit. Karena engkau sahabatku…

“Dan, karena tulang rusuk tak akan pernah tertukar”

21 respons untuk ‘[30] Karena Tulang Rusuk Tak Akan Pernah Tertukar…

  1. Endriii…. Manis sekali pilihan katanya,,. Pas di cerita “cincin yg melingkar” itu aku tb2 ingat yg d jarimu, terus menebak2 cerita lanjutannya, eh, ternyata salah…hehe

    Entah kenapa aku merasa penasaran sm lanjutan kisahnya,. Ayo2, lanjutin… 😀

  2. Jujur, ane jarang suka baca cerpen2.. pas awal baca jg dngn agak enggan, tp kok g bisa berhenti y smpe habis hehe…

  3. Ping-balik: Karena tulang rusuk tak akan pernah tertukar-part 2 « Endri Notes

Tinggalkan Balasan ke wulan Batalkan balasan