[170] Sebuah Mimpi


10818038_400302593468187_465002507_n

Tekad itu harus dibangun dari diri sendiri. Dan setiap kita harus punya mimpi. Mimpi kita juga harus kita bayar mahal dengan semua usaha-usaha maksimal yang bisa kita lakukan.

Itulah sebuah quote yang saya tulis di kertas, kemudian kertas itu saya tempel di dinding rumah. Quote itu juga yang saya tulis sebagai ‘semacam’ pelengkap dekorasi meja kantor. Quote itu pertama kali saya dengar dari guru ngaji di AQL dalam salah satu kajiannya. Saya lupa, apakah saya dengar saat mengikuti kajian langsung, atau via streaming, atau via video hasil download. Yang jelas, atas izin Allah, kalimat itu mampu menyulut semangat saya kala saya merasa malas untuk berkerja. Bekerja dalam segala hal.

Siapa sih yang nggak punya mimpi? Nggak punya harapan untuk kemudian ingin mencapainya? Sebuah mimpi dan harapan besar dalam hidupnya yang hendak ia capai.

Seperti kisah terkenal tentang sang katak. Saya pernah menuliskan di blog ini juga, tapi saya ingin sekali menuliskannya kembali.

Alkisah ada tigabelas pejuang katak. Ya, ada tigabelas ekor katak yang sedang mengikuti sebuah perlombaan untuk mencapai puncak setinggi Himalaya, dimana puncak itu sangat licin, curam, terjal, dan sebangsanya. Siapa yang bisa mencapai puncak dialah yang menang (*yaiyaaalah, masak yang jatuh duluan yang menang). Maksud penulis barang siapa ada katak yang bisa mencapai puncak dengan waktu tercepat, maka katak tersebut akan mendapat imbalan istimewa dari panitia. Yaaaa, perlombaan dimulai, disaksikan ribuan warga katak-katak lain. Riuh suara bergemuruh menyoraki kemustahilan bisa mencapai puncak tersebut.

“Mana mungkin bisa mencapainya, itu tinggi sekali”. “Sia-sia saja berusaha mencapai puncak, tiang itu sangat licin”. “Hanya katak-katak bodoh yang mau ikut perlombaan itu, mustahil bisa mencapai puncak”.

Akhirnya, satu persatu katak-katak itu berguguran. Satu, dua, tiga, …. duabelas. Genap duabelas katak jatuh tak sukses mencapai puncak. Tapi tahukah engkau kawan? Satu ekor katak masih terus melaju ke atas menuju puncak tiang. Sedangkan para penonton masih riuh bersorak, “ aiihhh, mustahil mencapai puncak, itu hanya teori belaka”. “Sebentar lagi juga akan jatuh”.

Namun di luar dugaan, ternyata katak itu terus dan terus melaju dan sampai akhirnya mencapai puncak. Dan taukah engkau kawan? ternyata katak sang juara itu adalah katak tuli. Sehingga katak tersebut tak mendengar kata-kata dan sorakan kemustahilan dari sang penonton, menjadikan katak tersebut terus melaju dengan semangat yang ada dalam dirinya. Sehingga sorakan kemustahilan itu menjadi sugesti negatif bagi pejuang katak yang lain. Namun, bagi katak tuli itu, dimana ia sama sekali tak mendengar kata-kata kemustahilan, membuatnya hanya fokus pada tujuan.

Katak pemenang yakin bahwa bukan suatu yang mustahil untuk mencapai puncak. Yang ada dalam pikiran katak itu hanyalah terus melaju untuk menjadi pemenang dan menjadi sang juara tanpa sedikit pun mendengar sugesti negatif dari yang lain. Dia melaju dengan sugesti positif yang timbul dari dirinya sendiri. Dan katak itu benar-benar mencapai puncak dan menjadi sang juara.

Usut punya usut keduabelas katak yang jatuh itu tidaklah tuli, sehingga mereka mendengar sugesti negatif dari para penonton. Katak yang terakhir jatuh, sudah berusaha ber-acting tuli tapi ternyata acting nya kurang sempurna. Yaaaaa ia masih membaurkan sugesti negatif masuk dalam pikirannya. Berusaha tak mendengar, tapi ternyata belum sepenuhnya mampu.

Buruk kah keduabelas katak yang jatuh dan belum menjadi pemenang itu? Tidak. Sama sekali tidak. Mereka itu katak-katak hebat, tapi belum beruntung. Kenapa begitu? Mau mencoba menjadi peserta itu adalah pilihan yang luar biasa. Mau mencoba mengikuti perlombaan sebelum berucap kata menyerah. Daripada katak penonton, hanya menjadi sekedar menonton dan mencemooh.

Tekad itu harus dibangun dari diri sendiri. Dan setiap kita harus punya mimpi. Mimpi kita juga harus kita bayar mahal dengan semua usaha-usaha maksimal yang bisa kita lakukan.

//

Tinggalkan komentar