2

[139] Aku dan Kaos Kaki


Tulisan ini terinspirasi dari postingan temen di instagram tentang kaos kaki. Membuat hati jadi pengen juga bercerita tentang kaos kaki.

Sudah sejak zaman kecil aku mengenal dengan apa yang disebut  ‘kaos kaki’. Kaos kaki putih berenda yang dipadankan dengan sepatu hitam, menjadi kaos kaki yang paling aku suka semasa duduk di bangku TK. Kaos kaki putih bersih adalah kaos kaki yang paling aku suka ketika sekolah. Aku kurang suka dengan kaos kaki warna hitam yang dipadankan dengan seragam pramuka.

Aturan dari sekolah bahwa ketika seragam putih-merah, kaos kaki berwarna putih. Seragam putih-biru, kaos kaki berwarna putih. Seragam Osis, kaos kaki berwarna putih. Seragam pramuka, kaos kaki berwana hitam. Yaaa, itulah pelajaran yang aku dapatkan selama menempuh pendidikan kurang lebih 12 tahun. Semasa sekolah, aku hanya tahu bagaimana cara memadupadankan kaos kaki dengan baju seragam. Kalau tak sesuai aturan, yaaa harus siap terima sanksi. Kalau tidak mengenakan seragam, tidak wajib pakai kaos kaki. Enough.

Hingga suatu ketika, aku berkesempatan untuk mengenyam bangku kuliah. Aturan yang sama masih berlaku di kampusku, dan tentu saja aku mematuhi peraturan itu. Di luar jam kuliah, yaaa suka-suka gue dong mau pakai atau enggak. Hingga tibalah di suatu kondisi yang membuatku mantap memutuskan untuk memakai kaos kaki dalam keseharian. Meskipun, butuh proses yang tidak sebentar untuk menemukan kemantapan itu. Seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali muka dan kedua telapak tangan.

Pernah suatu hari, ketika aku masih duduk di bangku kuliah. Kejadian itu terjadi di luar lingkungan kampus, tepatnya ketika aku sedang mengajar private. Sang murid bertanya padaku, “Kak, kok di dalam ruanganmasih pakai kaos kaki, dingin ya Kak?”

Tentang fenomena seseorang yang belum mengenakan jilbab, lantas ia pergi mengendarai motor dengan mengenakan sandal. Suatu pemandangan yang menarik perhatianku, meskipun ia memakai sandal, ia juga mengenakan kaos kaki. Barangkali, niatnya agar kaki tidak terkena teriknya sinar matahari, agar kaki ‘tidak hitam’. Yaaa, betapa sesungguhnya syariat islam itu sungguhlah sempurna.

Tentang kejadian yang juga pernah ku alami. Kejadian itu terjadi ketika aku sedang pergi dengan salah satu kawanku (perempuan lho yaa). Ketika  itu, aku masih dalam suasana ‘kurang PD’ dengan apa yang aku kerjakan. Kurang lebih begini percakapannya. Kawanku bertanya, “Kenapa pakai kaos kaki?” Lantas aku pun menjawab dengan diplomasi yang cukup meyakinkan, “Soalnya kalau mengenakan kaos kaki, kuku-kuku kakiku akan tetap bersih. Kalau tidak mengenakan kaos kaki, biasanya kan ada kotoran yang nyelip di pinggiran kuku.”  Seharusnya, di titik itu aku bisa mengambil pelajaran, bahwasanya apa yang Allah perintahkan tentu untuk kebaikan.

Seiring berjalannnya waktu, pemahaman tentang kaos kaki pun semakin bertambah baik. Kini, aku pun mengerti bahwa kaos kaki bukan lah perangkat yang senantiasa dipadupadankan dengan seragam sekolah.

Di luar jam kuliah, dalam keseharian di lingkungan kampus di Jakarta, aku mantap memakai kaos kaki. Tapiii, permasalahannya, nanti ketika pulang ke kampung halaman, apa kata keluarga besar? Bisa jadi, diriku akan mendapat banyak pertanyaan. Oke, aku putuskan untuk mengenakan sepatu simple ketika bepergian ke luar rumah. Sepatu simple yang dipadankan dengan kaos kaki, terlihat wajar bukan? Bahkan aku pun pernah mencari ‘setengah sepatu, setengah sendal’, untuk dipadankan dengan kaos kaki. Niat hati agar tidak ribet ketika melepas, terkesan santai, tapi tetep bisa mengenakan kaos kaki di luar rumah, dan tentunya tidak menimbulkan banyak pertanyaan dari orang-orang.

Semoga Allah senantiasa melimpahkan karunianya kepada guru-guru ngaji. Hingga tibalah di suatu titik, aku pun menemukan ‘template’ baru dalam kehidupan. Suatu titik yang membuat aku tak harus malu untuk mengenakan kaos kaki ini. Suatu titik yang membuatku semakin mantap untuk menjalankan perintah Allah. Suatu titik, yang membuatku merasa bangga ketika bisa mengenakan kaos kaki. Suatu titik yang membuatku bisa menghempaskan rasa ‘kurang nyaman’ ketika dipandang aneh oleh orang lain, sebuah perasaan yang sempat ku simpan di masa silam. Suatu titik yang membuat orang lain pun terbiasa melihat ‘aku dan kaos kaki’. Suatu titik yang membuat orang lain justru akan merasa janggal ketika aku tidak bersama dengan kaos kaki. Suatu titik yang membuatku bisa menanamkan rasa, ‘kenapa harus peduli dengan apa kata dunia? Lebih baik memikirkan ‘apa kata akhirat?’ Karena dalam kehidupan ini, tidaklah suka-suka kita, tapi suka-suka Allah.

6317ac64948711e3b77f12df955913a5_7

Ya Rabb, ampuni hamba yang berlumur dosa. Jauhkan dari api neraka-Mu ya Rabb.

//

0

[138] Keluarganya Allah [episode 3]


Tentang kehidupan, tentang segala bentuk nikmat dari Allah, tentang diri yang sering lalai untuk bersyukur. Ampuni hamba-Mu ya Rabb.

Beberapa hari yang lalu, ia pergi jalan-jalan di youtube. Mencoba mencari-cari video dari Ust. Yusuf Mansur. Sayangnya, tubemate yang terinstal di handphone-nya sedang bermasalah. Hingga ia pun tidak bisa men-download video yang ia play dari samsung-nya. Payahnya, ia pun belum jua berubah dari dirinya yang dulu. Kurang kreatif dalam perkara ‘IT’. Mencari solusi kenapa tubemate­-nya bermasalah pun tak mau. Kalau tidak bisa download lagi, ya sudaah,  nonton saja via youtube. Itu artinya kuota pun menjadi boros dan lebih parah lagi, ia tak bisa menyimpan video yang dirasa bagus.

Setelah berjalan sana-sini, akhirnya ia bertemu dengan video yang mengupas terkait mimpi bertemu dengan Rosulullah. Dalam video itu, Wirda (anak sulung dari Ust. Yusuf Mansur) menceritakan mimpinya bertemu dengan Rosulullah, yang berkaitan juga dengan menghafal Al Qur’an. MasyaAllah. Dalam video itu juga menampilkan 3 bersaudara (dalam usia yang masih muda) yang hafal Al Qur’an.MasyaAllah. Satu diantara 3 bersaudara tersebut, namanya Habib, suaranya MasyaAllah. 

“Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga di antara manusia, para sahabat bertanya, “Siapakah mereka ya Rosulullah?” Rosul menjawab, “Para ahli Qur’an. Merekalah keluarga Allah  dan pilihan-pilihanNya”. (HR Ahmad)

Suasana sabtu malam tertanggal 13 Desember 2013, ia yang masih bersama dengan semangatnya yang pasang-surut. Keputusannya untuk mengikuti Utsmani online memang sudah mantap insyaAllah. Namun, hingga pertemuan ke-7 pun, ia masih saja belum sadar. Masih sering menghafal ‘mepet’ beberapa jam sebelum setoran. Ahad pagi ia setoran, hari sabtu ia baru heboh untuk menghafal. Kemana saja ia selama 6 hari sebelumnya? Apakah ia tidak pernah bersyukur, betapa besar nikmat yang Allah berikan kepadanya. Nikmat kesehatan, nikmat fasilitas, nikmat kesempatan, nikmat….

Surah Al Mulk, surah ke-67, surah pertama di juz 29. Surah yang tak asing lagi baginya. Kerap ia membaca surah itu sebelum tidur, bahkan sangat sering ia mendengarkan surah itu dari handphone­-nya. Sering ia dengarkan lengkap dengan terjemahannya, hingga menjadi kebiasaannya.

Sabtu malam, lepas isya’, ketika semangat menghafalnya tak kunjung jua datang, ia mencoba mencari-cari motivasi. Mencoba kembali berjalan-jalan di youtube, berharap dapat bertemu dengan video yang bisa melecutkan semangatnya. Dalam perjalanannya di youtube, ia bertemu dengan video dari Wisata Hati Selasa 29 Oktober 2013 yang dibawakan oleh Wirda. Dalam video itu Wirda melantunkan 2 kali surah Al Mulk. Betapa senang hatinya menemukan video itu. Beberapa kali ia memutar video itu, live via youtube dari handphone-nya, tanpa bisa menyimpan video itu. Hingga akhirnya datanglah sang pangeran baik hati yang membantunya untuk kembali menginstall tubemate, Alhamdulillah ia bisa kembali men-download, dan memutarnya kembali kapan pun ia mau, tanpa harus tersedot pulsa.

Semangatnya kembali melejit, ia sangat senang mendengarkan surah Al Mulk yang dibawakan oleh Wirda. Alhamdulillah, Allah memberi kemudahan untuk menghafal ayat-ayat-Nya. Beberapa kali ia mengulang video tersebut, hingga terdengar suara dari handhone-nya yang menandakan lowbat. Ia masih saja cuek, rasa-rasanya malas beranjak untuk sekedar mengambil charger.

Taraaaa…tiba-tiba gelap. Semua lampu mati, alias sedang mati lampu.

Bagaimana ini, menghafal belum selesai, murajaah juz 30 juga belum ia lakukan, PR mahraj dan sifat huruf belum ia kerjakan, hukum Mad yang menjadi PR pun belum ia review. Sejenak ia terdiam dalam gelap. Sama sekali ia tidak bisa melihat sekitar, sama sekali. Hanya suara suaminya yang bisa ia dengar. Barangkali sebelumnya ia mengalami mati lampu tatkala siang, atau kalau pun malam, masih ada cahaya dari luar rumah. Berbeda dengan saat ini, semuanya gelap. Entahlah, darimana datangnya perasaan itu. Baru pertama kali ia merasakan perasaan seperti itu. Ia mencoba membuka lebar-lebar matanya, tapi nihil, tidak ada sesuatupun yang terlihat. Semuanya gelap. Baru kali ini ia merasakan perasaan seperti itu. Perasaan menjadi seseorang yang berusaha keras untuk membuka matanya lebar-lebar, tapi tidak ada satupun benda yang terlihat. Ya Rabb betapa hamba-Mu ini seharusnya senantiasa bersyukur, Engkau telah memberi nikmat mata sehingga diri ini bisa melihat dunia-Mu ya Rabb.

Tak banyak yang bisa ia lakukan, ada harapan tetap bisa menghafal dengan mendengarkan suara Wirda, tapi apa daya, handphone lowbat. Hingga sang suami pun bergegas mencari senter untuk penerangan agar sang istri masih bisa menghafal Al Mulk.

Ya Rabb, betapa banyak dosa yang telah hamba timbun. Nikmat mata yang seharusnya menjadi bentuk kesyukuran, tapi hamba seringkali menggunakannya untuk melakukan maksiat kepada-Mu ya Rabb. Betapa hamba seringkali menggerutu , menyalahkan pihak yang mengelola listrik, ketika listrik padam di saat yang tidak tepat. Bahkan hamba, seringkali tidak bersyukur, ketika listrik padam hanya untuk sementara, bagaimana kalau nikmat mata ini dicabut, sehingga hamba merasakan gelap yang tidak sementara.