Cerita tentang sebuah kerinduan yang begitu sulit untuk dideskripsikan. Tentang segala letupan tanpa syarat. Tentang kenangan yang begitu mudah membuat mata ini seolah kelilipan.
Di sana, di sebuah desa yang jauh dari kata ‘ramai’. Di tempat itulah aku pernah melukiskan kenangan. Di tempat itulah, tempat dimana aku mulai berani menyusun mimpi, berdo’a untuk pengharapan yang terbaik. Di tempat itulah, aku mulai tahu apa arti sebuah kesederhanaan. Tak banyak yang tahu, akan apa yang ada dalam imajinasiku. Sebuah rute yang aku susun, penuh dengan peluh, untuk bergeser, menjauhi garis kemiskinan itu.
Kini, aku berdiri di belahan bumi lainnya. Untuk melanjutkan puzzle mimpi yang dulu pernah aku bangun. Bahagia? Tentu iya. Aku berdiri di sini bersama seseorang yang telah Allah pilihkan untuk menjadi pendampingku. Tapi, di sisi lain, jika aku ditanya akan hal lain, tentang seoonggok perasaan di sudut kecil relung hatiku. Maka, begitu sulit untukku bisa menahan tangis ini. Yaaa, tentang ‘kerinduan’. Dan disaat mataku berada pada titik terlemahnya, Allah mengizinkanku, untuk selalu mendapatkan sandaran itu. Allah mengizinkanku, untuk bersandar di bahu sang belahan hati.
Yaaa, bukankah Allah tidak pernah salah? Tergantung dari sisi mana, manusia hina ini, hendak berprasangka. Tergantung dari sisi mana, manusia lemah ini, hendak melihatnya.
Dan, rasa syukur, bersyukur dalam setiap kondisi, insyaaAllah lebih baik, daripada melakukan hal yang sebaliknya.
Untukmu, wahai ibu, untuk keluargaku, begitu sukar untukku melukiskan perasaanku dalam setiap waktu….
Mak’e (ibu), semoga Allah berikan surga tertinggi untuk beliau….
Biyung (nenek), semoga Allah senantiasa memberikan berkah kepada beliau
Doddy, Pak’e, Biyung (nenek), Aku
Doddy, Pak’e, Lia, Mb Rini, Aku, Ori, Bulek Kikin, Linda, Mb Rita
Fatah, Mas Diyan, Lala, Hiban
Mb Rini, Fatah, Lia, Mas Diyan, Aku, Bulek, Linda, Ori
Lala
rindu mak e 🙂
iya Kak 🙂