1

[116] Kami dan Gorontalo, Karena Allah


TN_psd0346

Sebuah provinsi yang terbilang cukup mungil di tanah Sulawesi. Gorontalo. Tertanggal 26 Desember 2012 aku dan suami, beserta 7 teman seperjuangan kami dibawa Garuda ke tanah Gorontalo. Karena berdasarkan SK, kami ber-9 mendapat tugas untuk bekerja di provinsi Gorontalo. Di bawah ini adalah foto ku dan suami, saat-saat pertama menginjakkan kaki di Gorontalo. Sesaat sebelum mendarat, kami disuguhkan dengan tekstur alam yang sedikit asing. Sebelumnya, kami hanya selancar via internet untuk berkenalan, sekarang kami ta’aruf live dengan Gorontalo. Bismillah, awal yang cerah.

suamiku

saat-saat pertama menginjakkan kaki di Gorontalo

Tentang aku dan suamiku. Lahir dan besar di tanah Jawa, membuat kami sama-sama punya tanda tanya besar tentang bagaimanakah gerangan keadaan tanah Gorontalo? Karena dalam hitungan beberapa tahun ke depan kami akan tinggal di Gorontalo.  Masih terbayang jelas hingga sekarang wajah keluarga yang mengantarkan kami berdua ke Soekarno Hatta. Tiba-tiba teringat keluarga di Purwokerto, keluarga di Sukoharjo, wajah-wajah beliau yang tak muda lagi beserta pesan-pesannya pada kami, masih saja membuat aku menyeka air mata kalau mengingatnya. Canda-canda adik-adik dan keponakan,,,

“Kaki Raji”, tiba-tiba suamiku yang terbaring di sisi kiriku berbicara di tengah tidurnya.

“Kenapa Mas?”, memeluk beliau membuat hatiku lebih tentram, ku hentikan aktifitasku mengetik sembari menyeka airmata pasca lihat-lihat foto  keluarga dan kangen. (Kaki adalah panggilan untuk kakek di keluarga suamiku. Kaki-Nini = Kakek-Nenek.)

“Mimpi Kaki Raji”, begitu tutur beliau. Aku belum banyak bertanya, karena tak mau menganggu beliau. Hanya beberapa gerakan tangan dan kecupan agar beliau tidur kembali.

Hari ini kantor libur. Memungkinkan aku untuk bermain-main dengan laptop. Mendengarkan video hasil download dari web AQL plus membaca catatan ngaji bersama Ustadz Bachtiar Nasir di AQL beberapa bulan silam. Ada catatan yang membuatku sering tertarik melihatnya, dan sudah pernah juga ku tulis beberapa kali di blog ini dalam versi lain. Tapi, tetap saja masih tertarik untuk menulisnya.

Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup

Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja (Buya Hamka)

Hiduplah dengan kekuatan prinsip. Janganlah bekerja seperti babi di hutan yang hidup dengan merusak tanaman orang. Jangan hidup untuk mengejar dunia.

Apabila kita mati, manakah yang lebih baik? Kita atau daun kering yang mati berguguran ke tanah? Daun-daun kering itu, pada saat ia hidup, ia bertasbih pada Allah, dan juga memasak dengan fotosintesis agar menghasilkan Oksigen sebagai sumber kehidupan. Bahkan, ketika ia gugur menjadi daun kering pun, ia menjadi humus yang akan menyuburkan tanah bermanfaat bagi yang lain. Sedangkan diri ini?

Diri ini, akan senantiasa berjalan menuju titik akhir perjalanan hidup. Ujung kehidupan. Dalam proses perjalanannya, kita seperti bola karet yang akan memantul dari tempat satu ke tempat lainnya. Melalui fase-fase atas izin Allah SWT. Seperti sekarang, bola karet kami memantul ke tanah Gorontalo atas izin Allah. Alhamdulillah, mayoritas muslim dan memudahkan kami untuk menemukan masjid. Karena mendengar cerita beberapa teman kami yang penempatan daerah lain, ada yang susah menemukan masjid dan harus berhati-hati dalam memilih makanan, dll. Jarak antar kabupaten pun tidak terlalu jauh. Karena provinsinya kecil, jarak kabupaten terjauh dari provinsi hanya sekitar 4 jam jika ditempuh dengan kendaraan bermotor. Hal ini lebih menguntungkan bagi kami, karena pusat kota berada di wilayah sekitar provinsi. Allah Maha Adil, tidak ada yang kebetulan terjadi, karena semua atas kehendaknya. Dan pastilah kehendak Allah yang terbaik bagi tiap-tiap makhluk-Nya. Dimana pun, kapan pun.

Dan di sisi-Nya lah kunci-kunci keghaiban, tidak ada yang mengetahuinya selain Dia semata. Dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan lautan. Tiada sehelai daun pun gugur, melainkan Dia mengetahuinya; dan tidak pula sebutir biji di kegelapan bumi, dan sesuatu yang basah dan kering, melainkan (telah tertulis) di Kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh).” (Al An’aam: 59)

Mari menjadi pribadi yang sensitif terhadap nikmat Allah. Peka mendeteksi karunia dari Allah. Agar kita menjadi pribadi yang pandai bersyukur. Masih bisa bernafas, berjalan, makan, dll, alhamdulillah.

Teringat salah satu cerita di AQL. Oleh-oleh dari Ustadz Bachtiar saat mengunjungi salah satu penjara Grobogan Bali. Ketika itu Ustadz berdialog dengan penghuni penjara. Kurang lebih seperti ini. Percakapannya mungkin tidak mirip, tapi intinya insyaAllah sama.

“Maukah kamu melihat keluargamu, anak-anakmu, dan istrimu makan dengan makanan yang layak, berpakaian yang layak dengan rejeki yang halal setiap harinya? Maukah kamu melihat orang disekitar keluargamu berbuat baik pada kelurgamu yang kau tinggalkan di luar penjara ini? Dalam posisi kamu masih dalam penjara.

“Bagaimana caranya?”

“Berbuat baiklah pada orang-orang yang ada di sekitarmu. Setiap bangun pagi berpikirlah, siapa yang hari ini akan saja tolong, siapakah hari ini yang akan saya pijitin,,,

Seketika penghuni penjara itu pun menangis…

Jauh dari keluarga, bukan berarti kita tidak bisa berbakti pada mereka. Dalam setiap membuka episode hari, mari berpikir “Hendak berbuat baik apakah kita hari ini?” Siapa yang hari ini hendak kita tolong?”

InsyaAllah, atas izin Allah, keluarga kita di belahan bumi sana juga akan senantiasa di tolong oleh orang  lain karena Allah.

0

[92] Bersama Allah, Kita Pasti Bisa


Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup

Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja – by Buya Hamka

Deretan kata-kata indah di atas dilantunkan dengan tegas oleh Ust. Bachtiar Nasir pada kajian Kamis malam 31 Mei 2012 kemarin.

Sama kah antara hidup kita dengan hidupnya babi di hutan?

Babi di hutan hidup dengan merusak tanaman orang, dikejar-kejar, lantas dibunuh, kemudian dibiarkan begitu saja. Apakah kita juga sama seperti itu? Hidup dengan merusak lantas merasa dikejar dan mengejar dunia? Capek jika hidup hanya mengejar materi semata. Semoga saja kita tidak termasuk dalam golongan itu. Hiduplah dengan kekuatan prinsip. Hidup sebagai kesatria dengan menegakkan kalimat “Lailaha ilallah” dan mati di jalan Allah. Allah Akbar.

Mari miliki jiwa pemenang, sama halnya kita miliki jiwa orang sukses. Karena sukses bukan diukur dari tingginya jabatan kita ataupun banyak gaji kita. Tapi dari mentalitas keimanan. Siapakah mereka? Siapa mereka yang memiliki mentalitas keimanan? Yaitu orang yang senantiasa mencari pertolongan Allah dan selalu memenangkan agama Allah. Senantiasa melakukan lompatan-lompatan berpikir. Bagaimana riilnya? Dimulai dari kemenangan-kemenangan kecil yang kita peroleh untuk membuka cakrawala kita.

Mari renungkan, lebih baik mana antara kita vs daun kering yang berguguran di tanah? Atau mungkin kita tidaklah lebih dari daun kering yang jatuh berguguran. Karena pada saat hidup, daun-daun itu senantiasa bertasbih pada Allah. Sibuk memasak agar bisa menghasilkan Oksigen untuk kehidupan manusia. Gugur di tanah pun masih bisa menyumbangkan kesuburan dengan humus-humusnya. Sedangkan kita? Mari sejenak kita tengok. Apa yang telah kita lakukan untuk Islam? Padahal kita berhutang besar pada Islam. Kita pun menjadi terhormat karena Islam.

Mari kita tancapkan cita-cita terbesar kita sebagai penerus estafet dari Rosulullah Muhammad SAW. Niatkan, maka syaraf akan terkunci untuk melakukannya. Jangan berpikir kerdil. Mari berpikir besar dan berjiwa pemenang.

Ceramahi mereka, maka mereka akan lupa,

Perintahkanlah mereka untuk menulis, maka mereka akan ingat,

Dan perintahkanlah mereka untuk mengamalkan, maka mereka akan paham,

Karena tidak ada pertemuan yang kebetulan, semua adalah ketetapan Allah. Mari ajak saudara-saudara kita dalam pertemuan-pertemuan yang senantiasa diridhoi Allah. Karena bersama Allah, kita pasti bisa.