Beberapa menit yang lalu, ada sebuah ‘pesan bergambar’ yang masuk ke salah satu group wa yang aku ikuti. Atas izin Allah, dari ‘pesan’ itu, aku tergerak untuk menuliskan sesuatu. Sebuah nasehat untuk diriku sendiri, dan semoga bermanfaat juga untuk saudara/i-ku semuanya. Mari saling mengingatkan. Semoga Allah jauhkan kita dari api neraka, aamiin.
Tentang dunia…
Pada suatu pagi yang cerah, terdengar keributan di sebuah rumah yang berlokasi di perumahan Kamufla. Ada seorang laki-laki bujang tinggal di rumah bercat putih, rumah paling pojok, pas di seberang masjid. Konon, ia adalah seorang perantau. Ia hidup jauh dari orangtuanya. Jauh dari keluarganya, keluarga yang di masa silam telah membesarkannya dengan penuh rasa cinta.
Keributan itu terjadi antara dia dengan dirinya sendiri…
Tentang dunia…
Bangun dari tempat tidur, ia pun melirik ke arah jam. Tersentak kaget, “haaaa, telat bangun, sudaah jam 6 lebih.” Ia pun buru-buru pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, padahal panggilan dari Allah sudah berkumandang sekitar satu setengah jam yang lalu. Sedari satu setengah jam yang lalu, Allah telah menantinya, tapi ia masih asyik dalam lelapnya. Lantaran semalam, ia tidur terlalu larut karena harus lembur menyelesaikan pekerjaan kantornya. Tadi malam, dengan mata yang terkantuk-kantuk, ia rela untuk merampungkan pekerjaan kantornya, bergelut dengan tabel-tabel penuh angka yang serba fatamorgana. Sayangnya, ia belum pernah berjuang sekeras itu dalam membaca Al-Qur’an. Dalam sejarah hidupnya, ia masih jauh dengan Al-Qur’an. Betapa indahnya, ketika seseorang itu senantiasa berinteraksi dengan Al-Qur’an. Hingga di suatu masa nanti, Al-Qur’an akan memberi syafaat kepadanya, karena ia senantiasa berinteraksi dengan Al Qur’an dalam keadaan terjaga, bahkan sampai ia terkantuk-kantuk.
Tentang dunia…
Sang laki-laki itu pun lupa mengucap syukur kepada Sang Penciptanya. Saat bangun dari tidur, ia pun acapkali lupa untuk membaca do’a, alhamdulillaahil ladzii ahyaanaa ba’damaa amaatanaa wa ilaihin nusyuuru, “Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah menghidupkan kami kembali setelah mematikan kami, dan kepada-Nya lah kami kembali”. Betapa besar nikmat Allah kepadanya, ia dihidupkan kembali dari mati kecilnya. Barangkali tak pernah terlintas dalam benaknya, bagaimana jika pagi ini Allah tidak mengizinkannya untuk bisa terbangun kembali? Tak bisa lagi menghirup oksigen, yang biasanya ia dapatkan dengan harga ‘cuma-cuma’.
Tentang dunia…
Beberapa saat kemudian, shalat subuh yang super kilat pun berlangsung. Tanpa dzikir. Surah Al Muawidzatain, ayat Kursi, nihil tidak ada yang ditunaikan olehnya. Shalat dengan berbalut baju yang beraroma kurang sedap. Sungguh berbeda dengan baju yang ia kenakan saat menghadiri pertemuan dengan rekanan kerjanya. Padahal, ia tinggal berdekatan dengan masjid. Ia tak pernah bertemu dengan para pejuang subuh. Para pejuang subuh yang datang ke seberang rumahnya, satu setengah jam yang lalu. Para pejuang subuh yang senantiasa berdzikir kepada Allah, yang senantiasa mendapatkan keberkahan dari waktu Subuh.
Tentang duniaa…
Berlanjut aktivitas mandi ala bebek. Bahkan ia pun sudah tak lagi peduli, kaki kanan atau kaki kiri yang ia langkahkan pertama kali untuk memasuki kamar mandi. Allahumma innii a’uudzu bika minal khubutsi wal khabbaa itsi. “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kejahatan syetan laki-laki dan syetan perempuan”
Masih dalam kondisi terengah-engah, ia pun berkunjung ke almari, dipilih-pilihlah baju andalan. Baju yang masih beraroma baru, baju yang beberapa hari yang lalu ia beli. Yaaa, cukup memakan banyak waktu, ketika ia merapikan pakaiannya dengan besi panas itu. Seakan tak pernah terpikir, betapa panasnya api neraka itu.
Tentang duniaa…
Motor pun melaju kencang. Ia pergi ke luar rumah, tanpa membaca Bismillaahi tawakkaltu’alallaahi laa haula walaa quwata illaa bil laahi. “Dengan nama Allah aku bertawakal kepada Allah, tiada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.”
Ia pergi untuk mengejar dunia, bergelut dengan kemacetan. Ia sangat bersemangat untuk menerobos jalan. Ia berjuang keras agar tidak terlambat handkey di kantor. Ia terjerat dalam kamuflase dunia. Dengan logikanya, ia pikir kesejahterannya itu bisa diukur dengan mesin handkey yang ada di kantornya. Ia pikir rezekinya akan berjalan lurus dengan grafik sang mesin handkey. Ia pikir, gajinya lah yang telah memberi kehidupan padanya. Ia pikir, nikmat sehat itu bisa ia beli dengan uang yang senantiasa ia timbun. Yaaa, ia begitu bersemangat agar tidak terlambat ke kantor. Pernahkah semangatnya itu muncul ketika menanti panggilan Allah? Pernahkan ia berjuang keras agar tidak terlambat untuk mendirikan shalat subuh, ashar, isya’? Siapa yang memberikan rezeki padanya? Bos di kantornya kah? Mesin handkey kah? Atau kah Allah yang Maha Kaya? (Tiga panggilan dari Allah: Panggilan yang pertama adalah adzan, panggilan yang kedua adalah panggilan haji/umrah, panggilan yang ketiga adalah panggilan kematian)
Ia bangga dengan jabatannya, ia bangga dengan gajinya. Namun, dibalik rasa bangganya itu, ia menyimpan tumpukan ketakutan dalam setiap waktu. Ketakutan terlambat datang ke kantor, ketakutan jikalau ia terlambat menyetor hasil pekerjaan kepada atasannya, ketakutan akan tuntutan rutinitas pekerjaan kantor. Miris, hidupnya hanya penuh dengan ketakutan akan deadline. Ia ‘memaksakan’ diri untuk ‘bahagia’ dengan semua ini. Memaksakan diri untuk mengatakan ‘bahwa ia bekerja untuk mencari sesuap nasi’, padahal faktanya? Ia seringkali merasa tidak punya waktu untuk sekedar menikmati indahnya sarapan pagi. Lagi-lagi, ia masih asyik dengan pekerjaan kantornya. Pagi hari sibuk dengan pekerjaan, sehingga tak ada lagi waktu untuk sarapan pagi. Siang hari, ia lupa jam istirahat, waktu shalat dhuhur sering bergeser, dan ia pun tak sempat untuk sekedar maenyantap makan siang. Ia bilang, “ia sibuk”. Bukankah sesuatu yang lucu, ia bekerja untuk mencari sesuap nasi, tapiii buktinya ia jarang menikmati apa itu nasi?
Ia memaksakan diri berkata ‘aku bahagia’. Meski, ia sendiri pun sadar, bahwa tugas-tugas rutin di kantornya tidak pernah menggugah semangatnya, ia seperti mesin. Mesin yang menanti masa pensiun, untuk menunggu ‘rupiah’ yang tidak seberapa. Kalau usianya bisa mencapai usia pensiun. Lain halnya dengan orang yang memperjuangkan agama Allah, meski berlumur darah, rasanya nikmaat sekali, bahkan ketika ia mati syahid, syurga telah menantinya. Maha Besar Allah.
Tentang dunia…
Ia kejar dunia, mengabdi pada dunia. Apakah seperti itu Rosulullah Shallallu’alaihi wassalam dalam menjalani kehidupan ini???? Siapa yang kita contoh dalam mengarungi kehidupan ini?
//