2

[189] Menulis Buku


“Menjadi penulis” adalah sebuah cita-cita besar yang ingin aku capai. Semoga Allah membimbingku untuk mewujudkannya, menjadi pejuang berpedang pena, mengail pahala  dari rangkaian kata-demi kata. Berharap, tulisan itu akan menjadi pemberat amal baik di yaumul hisab kelak.

Dan hingga saat ini, bahkan di usiaku yang telah menginjak 26 tahun, aku belum lah menjadi apa-apa. Masih saja menjadi daging bernyawa dengan rutinitas semu. Sok sibuk tanpa goals yang nyata. Berasa jalan ditempat, terbuai dengan fatamorgana dunia.

Jujur, sejujurnya aku sangat senang tiada tara saat itu. Betapa Allah maha baik. Saat aku membaca informasi bahwa tulisanku masuk sebagai salah satu kontributor dalam buku “Ku Tinggalkan dia Karena DIA” yang diterbitkan oleh Wahyu Qolbu. Aku senang, senang sekali, bak anak kecil yang mendapat sebutir permen dari ibunya.

Meskipun aku juga sadar, itu hanyalah sebuah pencapaian kecil, dan tentu saja banyak yang menganggap itu hanyalah hal yang biasa-biasa saja. Nggak ada istimewa-istimewanya. Yaa, aku menyadari itu. Karena, prioritas seseorang untuk menempatkan sebuah penghargaan tentu tidak sama antara orang yang satu dengan orang yang lain. Seperti halnya aku menganggap ‘bisa mengendarai sepeda’ adalah hal yang biasa-biasa saja, tapi bisa jadi ‘bisa mengendarai sepeda’ adalah hal yang begitu istimewa bagi orang lain.

Oke, lanjut ke cerita bahagiaku, hehe. Jadi pengumuman kontributor itu ada di web wahyuqolbu, penampakannya seperti ini:

kdkd 2Namaku ada di nomor 2, tapi sepertinya itu urutan bukan berdasarkan peringkat, jadi nomor 2 bukan berarti terbaik ketiga, bisa jadi terbaik ke 15 hehee.

Naaah, bukunya bisa didapatkan di Gramedia di seluruh Indonesia. Dan jujur, aku seneeeng banget waktu nemu buku ini uda nangkring di rak buku gramedia di provinsiku (norak banget ya, haha).

Penampakan sampulnya seperti ini, (pict nya ngambil dari google)

10854248_881015398605206_4077352940301962178_o(ini juga dari google)

B81LN1lCMAEEsAJIni dia kutipan ceritaku…..

kdkd

Naah, meskipun tulisanku hanya ada beberapa lembar saja, tapi aku sungggguh senang. berharap isi tulisan itu diridhai Allah, aamiin. Bukan malah membuat Allah murka, aamiin.

1

[33] Karena tulang rusuk tak akan pernah tertukar-part 2


lanjutan dari tulisan Karena tulang rusuk tak kan pernah tertukar 1

Baiklah. Abi cukupkan syuro’ kecil malam ini. Keputusannya sudah jelas, Aish belum bisa untuk menerima lamaran Faiq. Abi tahu Aish sudah dewasa, pasti sudah mempertimbangkannya dengan matang. Hak Aish untuk mementukan, karena itu untuk masa depan Aish. Besok akan Abi komunikasikan dengan Faiq mengenai jawaban Aish. Semoga nak Faiq tidak kecewa. Kita baca hamdallah, istigfar sebanyak2nya dan do’a penutup majelis.”

Seketika itu semuanya menunduk untuk melafalkan hamdallah, istigfar, dan do’a penutup majelis dengan suara sugra. Umi, Abi, Bang Usman, dan mbak Siti yang terhanyut dalam do’a yang bersinergi dengan khidmat diantara keheningan malam. Tapi aku tak khusyuk dalam do’a ku. Pikiranku malah berlarian kesana-kemari ibarat gangsing yang berputar2. Bibirku memang komat-kamit melafalkan do’a penutup majelis, tapi hatiku bergelut melawan sekian banyak ketidakjelasan. Kata2 Abi “Aish belum bisa untuk menerima lamaran Faiq..” dan “Semoga Faiq tidak kecewa” seolah membuat hatiku semakin tak karuan. Sedikit buram. Aku masih belum sepenuhnya yakin dengan jawaban Tidak-ku. Kenapa Abi bilang “Aish belum bisa”. Aish kan bilang “Tidak”.

“Akhir salam, Waassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh”

“Wa’alaykumsalam warahmatullahi wabarakatuh”

Tanpa kusadari lamunanku berkelanjutan, disaat yang lain menjawab salam aku tak menjawab karena tak fokus. Sampai2 tak dengar Abi menutup dengan salam. Disaat yang lain berdiri siap bubar, aku baru tersadar kalau ini sudah bubar. Payaaah. Aku berusaha menutupi kegalauanku dengan tersenyum ketika beberapa wajah menatapku.

Bubar dan usai dalam lingkaran syuro’, tapi belum bubar apalagi usai dalam lingkaran hatiku. Malah seolah semakin melingkar2 dengan padat tidak karuan. Ku lirik sejenak jam kucing. Jam kucing yang baik, sembari menunjuk pukul 9.30 pm ia seolah berbisik padaku “Semangat Aish, jangan khawatir sudah ada yang indah menungggumu di batas waktu”. Sesungguhnya tak lain aku hanya berusaha menghibur diriku sendiri, karena jam kucing itu jelas tak mungkin bisa menasehatiku.

Bang Usman sempoyongan berjalan menuju kamarnya, matanya sudah merah bahkan marun sejak awal tadi. Kalau Bang Usman langsung ke kamar, berarti masih terjaga wudhu dari shalat isya’ tadi. Ku lihat mbak Siti berjalan ke arah kran hendak berwudhu. Abi menuju meja kerja, pikirku akan melanjutkan masalah akuntansi di kecamatan. Akuntansi…Faiq..Buang jauh2 hal2 tentang Faiq. Ayo Aish kau pasti bisa.” Seolah prajurit hatiku sedang membantuku berperang melawan kegalauan yang ku rasakan.  Dengan pedang cap Bismillah dan panglima perang Lillahi ta’ala. Aku sudah memutuskan Tidak.

Ruangan menjadi hening, tinggal aku dan Umi beres2 tikar yang tadi dipakai  syuro’.

“Tenangkan hatimu Aish. Umi tahu memilih Ya/Tidak itu bukanlah perkara yang mudah. Tapi Umi yakin pilihan Aish pasti yang terbaik. Tersenyumlah Nak.”

“Umi”, hanya kata itu yang terucap dari bibirku menjawab wejangan Umi yang berentetan.  Aku tersenyum melihat wajah teduh Umi. Seolah hatiku dan Umi sedang bercengkrama, melaporkan perasaanku yang beriak. Bukanlah hal yang aneh pikirku, kalau Umi bisa menangkap kegalauan yang kurasakan. Karena sudah sembilan bulan lebih, aku menginap di kamar  dalam rahim Umi. Dengan fasilitas lebih dari bintang lima.

“Klik..Klik..” Suara Umi menganti lampu ruangan. Lampu putih yang terang, berganti lampu malam kuning yang lebih redup. Usai sudah cat tembok hijau menyidangku. Efek digantinya lampu membuat warna cat tembok hijau  menjadi kekuning2an. Menggantikan meja hijau persidanganku oleh hakim bijak Abi menjadi warna kuning penuh kebebesan. Persidangan yang indah pikirku, aku tak merasa menjadi terdakwa. Dukungan moril pengacara Umi yang baik hati mencairkan bongkahan padat dalam hatiku. Juga saksi2 yang jujur, Mbak Siti dan Bang Usman. Sidang usai. Aku memilih Tidak dengan penuh kebebasan. Dan sekarang perkaranya adalah bagaimana caranya aku mengumpulkan alasan atas jawaban Tidak-ku.

Aku melangkahkan kakiku dengan gontai menuju kran di sebelah dapur, tepatnya bagian belakang pojok kanan di dalam persegi bentuk rumahku. Aku hendak wudhu. Kebiasan yang selalu diajarkan Umi adalah cuci muka dengan produk pabrik merk halal, sikat gigi, dan wudhu.

Jadi ingat wejangan guru ngajiku waktu masih ngaji di mushala Al-Mustaqim. Waktu itu masih zaman SD, Faiq juga mengaji di situ.  Dia salah satu anggota tim nasyid “syuhada”. Pita suara nan khas dan syahdu, melantunkan tembang bernuansa islami. Astagfirulloh lagi lagi tentang Faiq.

Guru ngajiku, mas Alim pernah bilang .” Rasul SAW menyatakan, wajah orang yang berwudhu itu akan senantiasa bercahaya. Rasulullah akan mengenalinya nanti pada hari kiamat karena bekas wudhu. “

“Umatku nanti kelak pada hari kiamat bercahaya muka dan kakinya karena bekas wudhu.”

Setelah ritual sebelum tidurku selesai, aku membuka pintu kamar. Rona pink penuh cinta menyambutku. Cat  tembok kamarku berwarna pink, padahal jelas aku suka warna biru. Tapi kata Abi cat ini dulu pemberian Pak Cik penjual cat yang baik hati. Tinggal kamarku dan kamar Bang Usman yang belum di cat, dan tentu lebih lucu kalau kamar Bang Usman yang di cat pink^^. Akhirnya kamarku yang di cat pink, sedang Bang Usman dapat jatah cat biru yang seharusnya jatah kamarku.

Sembari menebahi tempat tidurku dan membaca surat An-Nas, Al-Ikhlas dan Al-Falaq mataku tertarik melihat foto di atas rak meja belajarku. Foto dengan bingkai biru warna kesukaanku. Fotoku dan Fitri. Semoga kau lekas sembuh kawan. Dan membuatku semakin tak ragu atas jawaban Tidak-ku.

Aku merebahkan badanku dengan rasa kegalauan yang mulai berkurang kadarnya, sembari mengambil Al-Qu’an ustmani di rak meja. Sempat ku lirik jam di digital di HP ku, pukul 9.45 pm. Aku lelah malam ini, biasanya aku rutin tidur jam 11.00 pm, tapi aku berniat tak berfikir berat malam ini. Aku ingin tidur cepat. Bismikallahumma ahya wabismika amut. Dan aku mulai mengulang hafalanku juz 30. Kata guru ngajiku, lebih baik kita persiapkan dengan membaca do’a sebelum tidur. Sebagai antisipasi dini ( baca : jaga2 ) kalau kita tertidur. Siapa tahu ditengah aku menghafal, aku malah tertidur. Kalau sudah baca do’a kan jadi tenang.

Galau-ku menipis, ketika aku mengingat-Mu. Menipis dan lenyap. Aku tak lagi galau. Ingat firman Allah QS ar-Ra’du:28 “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram”.

Aku pun terlelap dengan senyuman ketenangan. Hendak bertamasya ke alam mimpi. Karena hanya dengan mengingat-Mu hatiku menjadi tenang.